
Profil Manajer Klub, Unai Emery ditunjuk sebagai pelatih Aston Villa pada Oktober 2022, karena Steven Gerrard yang dipecat akibat hasil buruk. Saat itu, Villa berada di posisi ke-17 klasemen Liga Inggris, hanya satu tingkat di atas zona degradasi. Dalam waktu kurang dari satu musim, Emery membawa Villa finis di posisi ketujuh dan lolos ke UEFA Conference League, pertama kalinya sejak 2010 klub itu berpartisipasi dalam kompetisi Eropa. Ini menunjukkan dampak instan dari metode pelatih asal Spanyol tersebut.
Emery menerapkan formasi dasar 4-2-2-2 dengan transisi menyerang cepat dan pressing yang konsisten. Menurut data dari Opta (2023), Aston Villa mencatat peningkatan akurasi operan dari 77% ke 83% dan penguasaan bola naik dari 41% menjadi 50% setelah kedatangan Emery. Hal ini mencerminkan peningkatan kepercayaan diri dan kontrol permainan yang lebih baik. Ia juga memperbaiki lini pertahanan yang sebelumnya kebobolan 22 gol dalam 13 laga, menjadi hanya 12 gol dalam 13 laga awal di bawah arahannya.
Unai Emery sukses secara taktis dan memaksimalkan pemain kunci seperti Ollie Watkins serta Emiliano Martínez sepanjang musim. Ia juga mendorong pemain muda seperti Jacob Ramsey lewat integrasi akademi dan keterlibatannya dalam pengembangan talenta muda. Dengan pendekatan kolektif dan efisien, tim tampil solid tanpa bergantung sepenuhnya pada pemain bintang di lapangan. Emery menerapkan perencanaan jangka menengah serta memperkuat struktur klub dengan tim analis data dan pelatih performa berbasis sains olahraga.
Profil Manajer Klub analisis menyimpulkan bahwa keberhasilan Emery bukan semata hasil dari strategi lapangan, melainkan buah dari manajemen klub yang semakin profesional dan kolaboratif. Dalam ekosistem sepak bola modern, sosok pelatih seperti Emery—yang mampu menyatukan taktik permainan, pengembangan pemain, serta memberi pengaruh terhadap arah kebijakan klub—akan menjadi model keberhasilan jangka panjang yang layak diteladani.
Profil Manajer Klub: Kembalinya Sang Legenda, Zinedine Zidane
Profil Manajer Klub: Kembalinya Sang Legenda, Zinedine Zidane kembali melatih Real Madrid pada Maret 2019, setelah sempat meninggalkan klub setahun sebelumnya usai memenangkan tiga gelar Liga Champions secara berturut-turut. Real Madrid berada dalam kondisi tidak stabil saat itu, setelah memecat dua pelatih dalam semusim (Julen Lopetegui dan Santiago Solari). Kembalinya Zidane diharapkan membawa kestabilan emosional dan taktis ke tim yang sedang kehilangan arah.
Dalam musim penuh pertamanya sejak kembali (2019/2020), Zidane membawa Real Madrid meraih gelar La Liga dengan 87 poin. Mereka menjadi tim dengan kebobolan paling sedikit (25 gol) dalam semusim sejak 1987/1988. Data dari UEFA menyebutkan bahwa Real Madrid di bawah Zidane memiliki rata-rata expected goals against (xGA) hanya 0.93 per pertandingan, membuktikan betapa solidnya sistem pertahanan yang ia bangun.
Zidane juga terkenal karena pendekatan “player-first” dalam manajemennya. Ia memberi kepercayaan besar pada pemain senior seperti Luka Modrić dan Karim Benzema, yang di masa sebelumnya sempat dipinggirkan. Dalam waktu bersamaan, ia juga memberi menit bermain penting kepada pemain muda seperti Federico Valverde dan Vinícius Jr. Hal ini menciptakan harmoni di ruang ganti dan menjaga rotasi pemain tetap efektif.
Berbeda dengan pelatih lain yang kaku dengan satu formasi, Zidane dikenal adaptif. Ia sering menggunakan 4-3-3, 4-4-2 diamond, bahkan 3-5-2 tergantung lawan yang dihadapi. Kemampuan ini memperlihatkan keahlian taktisnya meskipun sebelumnya hanya memiliki pengalaman singkat di Castilla. Menurut analis taktik The Athletic (2021), Zidane termasuk dalam jajaran elite yang mampu mengelola tim dengan “minimal risiko, maksimal hasil.”
Zidane menunjukkan bahwa karisma dan koneksi emosional dengan klub bisa menjadi faktor besar dalam kesuksesan seorang manajer. Ia tidak hanya mengandalkan strategi, tetapi juga pemahaman psikologis terhadap dinamika pemain. Kesuksesannya menunjukkan bahwa manajer modern tidak cukup hanya sebagai pelatih taktik, tetapi juga pemimpin yang menginspirasi dan memahami aspek manusiawi sepak bola.
Kebangkitan Di Liga Inggris: David Moyes Dan West Ham United
Kebangkitan Di Liga Inggris: David Moyes Dan West Ham United setelah sempat diragukan karena masa lalu yang tidak terlalu gemilang di Manchester United dan Real Sociedad, David Moyes kembali ke West Ham United pada akhir 2019. Ketika ia datang, West Ham berada di ambang degradasi. Namun hanya dalam dua musim, ia berhasil membawa tim ke peringkat ke-6 di musim 2020/2021—pencapaian terbaik sejak era Harry Redknapp.
Salah satu kekuatan utama Moyes adalah efisiensi dalam pengambilan keputusan transfer. Ia mendatangkan pemain seperti Tomáš Souček, Vladimír Coufal, dan Jarrod Bowen dengan biaya yang tergolong murah, namun memberikan dampak besar. Jarrod Bowen mencetak 12 gol dan 10 assist pada musim 2021/2022. Menurut Transfermarkt, belanja transfer Moyes lebih hemat dibanding pelatih-pelatih klub besar, tetapi lebih berdampak dari segi performa.
Dari sisi taktik, Moyes menerapkan blok pertahanan rendah dengan serangan balik cepat. Menurut Premier League Stats (2022), West Ham mencatatkan 23% gol melalui situasi transisi cepat—tertinggi ketiga di liga. Ini menunjukkan efektivitas taktik Moyes yang disesuaikan dengan kualitas skuad. Ia juga membentuk tim yang sangat fisikal dan disiplin dalam bertahan.
Moyes juga dikenal membangun karakter dan budaya kerja keras dalam tim. Ia sering menekankan pentingnya kedisiplinan dan kerja tim. Pengaruh ini terlihat dari meningkatnya konsistensi performa pemain dan rendahnya konflik internal dalam tim. Banyak pengamat memuji Moyes sebagai “manager pembangun,” bukan sekadar “manajer pertandingan.”
Dalam konteks klub dengan sumber daya terbatas, Moyes membuktikan bahwa keberhasilan tidak selalu ditentukan oleh anggaran besar. Analisis keberhasilannya menunjukkan bahwa pemetaan kebutuhan, scouting yang efektif, dan membangun sistem kerja yang disiplin bisa mengangkat tim medioker menjadi pesaing Eropa.
Kejayaan Lokal: Herry Kiswanto Dan Persmin Minahasa
Kejayaan Lokal: Herry Kiswanto Dan Persmin Minahasa di level domestik, nama Herry Kiswanto patut disorot sebagai pelatih lokal yang berhasil membalikkan nasib tim kecil. Ketika ia menangani Persmin Minahasa pada awal 2000-an, klub ini hanya berlaga di Divisi Utama Liga Indonesia tanpa banyak sorotan. Namun, dalam kurun waktu tiga tahun, ia membawa klub tersebut promosi ke kasta tertinggi, mencatat sejarah sebagai klub Sulawesi Utara pertama yang lolos ke Indonesia Super League (ISL).
Kunci keberhasilan Herry terletak pada pembinaan pemain lokal dan pendekatan disipliner khas militer, sesuai latar belakangnya sebagai mantan TNI. Ia mengandalkan 80% skuad dari pemain daerah dan menolak mendatangkan banyak pemain asing. Hal ini menciptakan rasa kepemilikan dan semangat lokal yang tinggi di antara para pemain. Strategi ini berhasil membentuk tim yang solid dan penuh motivasi.
Secara teknis, ia memainkan sepak bola pragmatis berbasis pressing dan umpan-umpan panjang, menyesuaikan dengan kondisi lapangan dan fisik pemain. Pendekatannya membawa hasil nyata, termasuk kemenangan dramatis atas klub-klub besar seperti PSM Makassar dan Arema Malang di laga kandang. Stadion Maesa Tondano pun menjadi markas angker bagi lawan.
Namun keberhasilannya terhambat oleh kendala struktural. Saat promosi ke ISL, Persmin gagal lolos verifikasi karena masalah finansial dan fasilitas stadion. Herry kemudian memilih mundur daripada mengorbankan prinsip profesionalismenya. Langkah itu menunjukkan integritas dan idealisme yang tinggi dalam kariernya sebagai pelatih.
Analisis perjalanannya menunjukkan bahwa pelatih lokal bisa membawa perubahan besar dengan pendekatan yang tepat dan komitmen kuat. Herry Kiswanto menjadi bukti bahwa transformasi tim tidak hanya terjadi di level top Eropa, tetapi juga di liga lokal melalui kepemimpinan berbasis karakter dan kecintaan terhadap sepak bola daerah—sebuah contoh nyata dalamProfil Manajer Klub.