
Jejak Di Rinjani, gunung yang menjulang setinggi 3.726 meter di atas permukaan laut, merupakan gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia. Berlokasi di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, gunung ini menjadi daya tarik utama bagi wisatawan lokal dan mancanegara karena keindahan alamnya yang luar biasa. Dari danau Segara Anak yang memukau hingga pemandangan puncak yang epik, Rinjani menawarkan pengalaman mendaki yang penuh tantangan dan kekaguman.
Dalam kurun waktu 2023, data dari Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) mencatat jumlah pendaki mencapai 139.163 orang, terdiri dari 104.645 pendaki domestik dan 34.518 wisatawan mancanegara. Angka ini melonjak hampir tiga kali lipat dibanding tahun 2022 yang hanya 43.226 pendaki. Lonjakan ini menjadi sinyal bahwa Rinjani semakin dikenal sebagai destinasi wisata petualangan kelas dunia.
Namun, peningkatan jumlah pengunjung juga membawa dampak besar bagi lingkungan sekitar. Jalur-jalur pendakian utama seperti Sembalun, Senaru, dan Torean kini menghadapi tekanan ekologis yang signifikan akibat erosi, limbah, dan overkapasitas. Pemerintah melalui TNGR berupaya membatasi jumlah pendaki dengan sistem kuota dan durasi maksimal pendakian selama 4 hari 3 malam.
Kendati demikian, minat yang tinggi dari pecinta alam tak terbendung. Banyak dari mereka menyebut Rinjani sebagai pengalaman spiritual dan fisik yang luar biasa. Beberapa bahkan menjadikan pendakian ini sebagai ajang refleksi diri dan bentuk penghormatan terhadap alam. Ini menandakan bahwa hubungan manusia dengan Rinjani bukan hanya sekadar eksplorasi, tapi juga transformasi batin.
Jejak Di Rinjani tak selalu meninggalkan kebaikan—sebab sebagian pendaki masih membuang sampah, membuka jalur ilegal, atau melanggar aturan. Tantangan menjaga keseimbangan antara pesona alam dan konservasi lingkungan pun terus menghantui kawasan ini.
Jejak Di Rinjani: Sampah Gunung, Jejak Tak Terlihat Dari Pendaki
Jejak Di Rinjani: Sampah Gunung, Jejak Tak Terlihat Dari Pendaki masalah sampah menjadi isu utama dalam pengelolaan Gunung Rinjani. Sepanjang tahun 2023, BTNGR melaporkan adanya lebih dari 31 ton sampah yang diangkut dari jalur-jalur pendakian. Sampah tersebut sebagian besar berupa plastik sekali pakai, kaleng makanan, dan tisu basah yang tidak dapat terurai secara alami. Ini menunjukkan bahwa meski mencintai alam, tidak semua pendaki sadar akan dampak aktivitas mereka.
Program “Rinjani Zero Waste 2025” diluncurkan sebagai upaya mengatasi persoalan ini. Dalam program ini, pendaki dilarang membawa barang berbahan plastik sekali pakai, dan diwajibkan membawa wadah makanan dan air yang bisa dipakai ulang. Setiap pendaki juga harus melaporkan dan membawa kembali sampah mereka saat turun gunung. Selain itu, pos pemeriksaan dilengkapi tim yang mencatat dan memverifikasi jumlah sampah bawaan.
Pada 2024, sebanyak 52 pendaki diketahui melanggar aturan dan dimasukkan ke dalam daftar hitam (blacklist), yang berarti mereka tidak diperbolehkan mendaki Rinjani selama beberapa tahun ke depan. Langkah tegas ini diambil agar kebiasaan buruk pendaki dapat ditekan, serta menjadi pelajaran bagi lainnya. Ini juga merupakan bentuk perlindungan terhadap keanekaragaman hayati yang rentan terganggu akibat sampah.
Meski regulasi sudah ada, implementasinya di lapangan tidak selalu berjalan mulus. Masih banyak jalur pendakian yang luput dari pengawasan, terutama jalur ilegal. Selain itu, keterbatasan tenaga pengawas dan infrastruktur pendukung seperti tempat sampah dan toilet portabel juga memperparah keadaan. Perlu dukungan anggaran dan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan komunitas pecinta alam.
Analisisnya, solusi tidak bisa hanya pada pendekatan represif. Harus dibangun budaya “Leave No Trace” sejak dini, dengan edukasi sejak sebelum pendakian. Kampanye berbasis komunitas dan integrasi kurikulum lingkungan dalam aktivitas prapendakian menjadi kunci untuk menciptakan generasi pendaki yang benar-benar mencintai dan menjaga alam.
Konservasi Atau Komersialisasi: Dilema Rinjani
Konservasi Atau Komersialisasi: Dilema Rinjani gunung Rinjani kini berdiri di tengah persimpangan antara konservasi dan komersialisasi. Di satu sisi, pendakian memberikan pemasukan signifikan bagi daerah. Pada tahun 2023, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor wisata Rinjani mencapai Rp 14,7 miliar, meningkat tajam dari Rp 4,9 miliar pada 2022. Hal ini menunjukkan bahwa sektor ini sangat potensial bagi pembangunan ekonomi lokal.
Namun, pendapatan besar itu membawa risiko overeksploitasi. Dengan semakin banyaknya operator tur yang berlomba menarik pendaki, terjadi tekanan pada lingkungan seperti kepadatan jalur, pembukaan lahan ilegal, dan degradasi kawasan hutan. Jalur-jalur seperti Torean yang sebelumnya dianggap konservatif kini ramai digunakan, bahkan tanpa izin resmi atau sarana pendukung yang memadai.
BTNGR menerapkan sistem kuota harian untuk menekan dampak negatif ini, yakni sekitar 600–1.000 pendaki per hari tergantung musim. Selain itu, program reboisasi di jalur-jalur kritis dan patroli rutin menjadi bagian dari strategi konservasi. Namun, kebijakan ini kerap mendapat tekanan dari pihak operator wisata yang merasa dirugikan. Kebijakan tersebut penting untuk menjaga kelestarian alam, meski membutuhkan dialog intensif agar semua pihak dapat menerima solusi terbaik bersama.
Analisis dari pengamat lingkungan menunjukkan bahwa idealnya Rinjani harus dikembangkan sebagai model ekowisata berbasis konservasi, bukan semata-mata destinasi petualangan massal. Hal ini menuntut integrasi antara kepentingan ekonomi, sosial, dan ekologi. Pembatasan jumlah pendaki, edukasi, serta insentif untuk operator yang ramah lingkungan perlu ditingkatkan secara konsisten. Pendekatan ini akan memastikan keberlanjutan wisata sekaligus melindungi fungsi ekologis penting yang dimiliki Gunung Rinjani dan sekitarnya.
Jika tidak, Rinjani bisa berubah dari harta karun alam menjadi kawasan rusak oleh pariwisata massal. Pembelajaran dari kasus Gunung Gede Pangrango dan Semeru yang kerap ditutup karena kerusakan jalur dan sampah, seharusnya menjadi cermin bagi pengelolaan Rinjani ke depan.
Peran Komunitas Dan Harapan Masa Depan
Peran Komunitas Dan Harapan Masa Depan masyarakat lokal di sekitar Rinjani, seperti di desa Sembalun, Senaru, dan Tetebatu, memegang peran vital dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Mereka tidak hanya menjadi pemandu, porter, atau penyedia akomodasi, tetapi juga agen konservasi. Beberapa komunitas telah membentuk kelompok sadar wisata (Pokdarwis) dan koperasi porter yang mengelola jalur, mengangkut sampah, dan memberikan edukasi kepada pendaki.
Proyek kolaboratif seperti Rinjani Green Tourism dan pelatihan ekowisata untuk pemuda lokal menjadi contoh positif. Di sisi lain, keterlibatan organisasi pecinta alam juga patut diapresiasi. Kegiatan bersih gunung, penanaman pohon, serta advokasi jalur resmi menunjukkan bahwa semangat mencintai alam masih kuat di kalangan generasi muda.
Pemerintah daerah dan BTNGR telah mulai menyusun rencana jangka panjang pengembangan kawasan Rinjani berbasis prinsip geopark. Dengan status sebagai bagian dari UNESCO Global Geopark Rinjani, kawasan ini memiliki peluang besar mendapatkan dukungan global untuk konservasi dan edukasi.
Ke depan, keberlanjutan Rinjani sangat bergantung pada sinergi antara regulasi yang konsisten, partisipasi masyarakat, dan kesadaran pendaki. Mengubah pola pikir wisatawan dari sekadar “menaklukkan puncak” menjadi “merawat alam” adalah langkah kunci. Tanpa itu, program konservasi hanya akan menjadi slogan kosong.
Dengan menjaga Rinjani bersama-sama, Indonesia tak hanya melestarikan lanskap ikonik, tapi juga warisan alam dunia yang tak ternilai. Keindahan alam hanya akan abadi jika dirawat dengan cinta dan tanggung jawab—makna sejati dari Jejak Di Rinjani.