
Tenaga Kerja Merupakan Faktor Utama Dalam Pertumbuhan Industri Manufaktur di Indonesia Yang Kini Terus Menarik Minat Investor. Yang mana, berdasarkan data dari Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas) dalam dua bulan terakhir. Tercatat, Kementerian Perindustrian melaporkan adanya pembangunan fasilitas produksi oleh 198 perusahaan industri. Di mana, pembangunan ini berpotensi menyerap hingga 24.568 tenaga kerja. Sehingga, ini turut meningkatkan kesempatan kerja di sektor manufaktur. Febri Hendri Antoni Arif selaku Juru Bicara Kemenperin menyatakan bahwa tingginya minat investor untuk menanamkan modal dalam industri manufaktur mencerminkan potensi besar sektor ini. Khususnya, dalam menciptakan lebih banyak tenaga kerja. Selain itu, Indeks Kepercayaan Industri (IKI) menjadi salah satu tolak ukur pertumbuhan industri di Indonesia. Di mana pada Maret 2025, IKI tercatat sebesar 52,98 mengalami sedikit penurunan dari Februari 2025 yang mencapai 53,15. Serta, jika di bandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 53,05.
Meskipun terjadi perlambatan, mayoritas subsektor industri tetap dalam tren ekspansi. Terlihat, dari 23 subsektor industri yang berada di bawah pengawasan Kemenperin, sebanyak 21 subsektor mencatatkan pertumbuhan positif. Hal ini menunjukkan bahwa sektor industri masih memiliki peran krusial dalam menciptakan tenaga kerja dan memperkuat perekonomian nasional. Kemudian, pada triwulan IV tahun 2024, subsektor industri yang mengalami ekspansi memberikan kontribusi hingga 96,5. Di mana, kontribusi ini sekian persen ini terjadi pada Produk Domestik Bruto atau PDB. Lebih lanjut, kontribusi yang besar ini menegaskan bahwa sektor manufaktur masih menjadi salah satu penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia.
Sehingga, dengan meningkatnya investasi dan pembangunan fasilitas produksi. Maka, di harapkan jumlah tenaga kerja yang terserap terus bertambah. Sehingga, hal ini dapat mendukung pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. Hal ini terlihat dari beberapa subsektor dengan kinerja terbaik dalam IKI. Di mana, ini mencakup industri percetakan dan reproduksi media rekaman, serta industri farmasi, produk obat-obatan kimia, dan obat tradisional.
Keberlanjutan Tenaga Kerja Di Sektor Otomotif
Peningkatan permintaan terhadap produk percetakan, khususnya kemasan untuk industri makanan dan minuman, telah menjadi faktor utama yang mendorong pertumbuhan subsektor ini. Selain itu, industri farmasi mengalami lonjakan yang signifikan akibat meningkatnya kebutuhan akan obat-obatan. Hal ini baik kimia maupun tradisional. Kemudian, dengan pertumbuhan yang pesat subsektor ini terus menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Hal ini memperkuat posisinya dalam ekosistem industri nasional. Namun, tidak semua subsektor mengalami ekspansi. Yang mana, terdapat dua subsektor yang mengalami kontraksi. Yaitu, industri karet dan barang berbahan dasar karet serta industri furnitur. Di mana, kesulitan dalam menjaga pertumbuhan positif mengakibatkan kedua subsektor ini mengalami tantangan serius. Kemudian, kontraksi ini tidak hanya berpengaruh terhadap produksi saja. Namun, juga berdampak pada penyediaan tenaga kerja di sektor tersebut. Maka dari itu, Kemenperin menyadari perlunya langkah-langkah strategis untuk mengatasi hambatan ini. Serta, memastikan sektor-sektor terdampak tetap mampu mempertahankan tenaga kerja yang ada.
Sementara itu, sektor otomotif menghadapi hambatan besar akibat melemahnya daya beli masyarakat. Tercatat selama periode Januari hingga Desember 2024, penjualan kendaraan bermotor secara grosir mencapai 865.723 unit. Jumlah ini turun sebanyak 13,9 persen di bandingkan tahun sebelumnya. Selain itu, sektor ini di perkirakan akan terus mengalami perlambatan sepanjang 2025. Hal ini di pengaruhi oleh kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) serta penerapan opsen pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor. Sehingga, kondisi ini mengancam Keberlanjutan Tenaga Kerja Di Sektor Otomotif, baik di industri manufaktur maupun sektor terkait lainnya.
Setia Darta selaku Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin turut mengungkapkan pendapatnya. Ia menyatakan bahwa sektor otomotif berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional. Namun, akibat penurunan penjualan, industri ini mengalami potensi kehilangan nilai sebesar Rp4,21 triliun sepanjang 2024.
Juga Di Rasakan Di Sektor Hulu Dan Hilir Industri Otomotif
Dampak yang sama Juga Di Rasakan Di Sektor Hulu Dan Hilir Industri Otomotif. Di mana, dengan masing-masing mengalami penurunan nilai sebesar Rp4,11 triliun dan Rp3,519 triliun. Menurunnya aktivitas industri ini, tenaga kerja di sektor otomotif juga menghadapi ketidakpastian yang semakin besar. Sehingga, untuk mengatasi permasalahan ini, Kemenperin mengusulkan berbagai insentif. Hal ini di upaykan guna menjaga keberlanjutan industri otomotif. Terlihat beberapa di antaranya termasuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah Ditanggung Pemerintah sebesar 3 persen untuk kendaraan hybrid. Serta, insentif PPN DTP sebesar 10 persen untuk kendaraan listrik guna meningkatkan pertumbuhan kendaraan ramah lingkungan. Selain itu, Kemenperin juga mengusulkan kebijakan penundaan atau keringanan. Hal ini khususnya dalam pemberlakuan opsen PKB dan BBNKB. Hingga saat ini, sebanyak 25 provinsi telah mengeluarkan regulasi terkait relaksasi opsen pajak kendaraan.
Maka dari itu, kebijakan ini di harapkan dapat mempertahankan stabilitas tenaga kerja di sektor otomotif dan meningkatkan daya saing industri nasional. Kukuh Kumara selaku Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia atau Gaikindo menegaskan pendapatnya. Di mana, ia menyatakan bahwa kebijakan pemerintah sangat di perlukan untuk mengatasi dampak negatif dari opsen pajak kendaraan bermotor.
Riyanto selaku Pengamat otomotif dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia turut memberikan penilaian. Di mana, ia menyatakan bahwa intervensi pemerintah sangat di butuhkan untuk mencegah memburuknya kondisi pasar kendaraan bermotor. Di mana, solusi jangka panjang yang di perlukan mencakup penguatan daya beli masyarakat. Serta, harus di dukung dnegan percepatan pertumbuhan ekonomi nasional. Berdasarkan kajian LPEM UI, insentif terhadap industri otomotif dapat memberikan dampak signifikan. Hal ini tidak hanya terhadap sektor otomotif itu sendiri tetapi juga terhadap tenaga kerja di sektor terkait seperti manufaktur komponen, perbankan, dan lembaga pembiayaan. Dalam skenario tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebesar 10 persen. Di mana, sektor otomotif di proyeksikan memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto senilai Rp177 triliun.
Di Yakini Dapat Memberikan Manfaat Luas
Selain dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi, kebijakan insentif ini juga memiliki pengaruh langsung terhadap tenaga kerja. Yang mana, pada skema tarif PPnBM 10 persen, tambahan tenaga kerja yang terserap di perkirakan mencapai 7.740 orang. Jika tarif PPnBM di turunkan menjadi 7,5 persen, maka jumlah tenaga kerja yang dapat di serap meningkat menjadi 11.611 orang. Lebih lanjut, jika tarif di kurangi menjadi 5 persen, maka tenaga kerja yang terserap di perkirakan mencapai 15.481 orang. Sementara itu, dalam skenario penghapusan PPnBM atau penurunan menjadi 0 persen. Maka, sektor otomotif di prediksi mampu menambah hingga 23.221 tenaga kerja baru.
Untuk memperkuat industri otomotif, Riyanto mengusulkan agar tarif PPnBM untuk kendaraan dengan harga terjangkau di kembalikan ke 0 persen. Khususnya, dari level saat ini yang sebesar 3 persen. Sehingga, insentif semacam ini Di Yakini Dapat Memberikan Manfaat Luas. Hal ini termasuk peningkatan jumlah tenaga kerja, percepatan program lokalisasi industri, ekspansi pasar ekspor, serta penguatan riset dan pengembangan di sektor otomotif. Dengan kebijakan yang mendukung pertumbuhan sektor ini, maka di harapkan industri otomotif dapat terus berkembang. Pada akhirnya, ini menciptakan lebih banyak tenaga kerja, serta memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional melalui penyerapan Tenaga Kerja.