
Sejarah Ngerebong Bali Sudah Ada Sejak Tahun 1937 Dan Menjadi Adat Istiadat Dan Warisan Budaya Bali Hingga Sekarang. Pulau Bali memang sudah lama di kenal sebagai daerah yang kaya akan ragam budaya dan kebiasaan adat yang sarat nilai spiritual. Di antara berbagai bentuk budaya lokal yang masih di lestarikan hingga kini, terdapat suatu tradisi yang sangat istimewa. Kebiasaan adat ini menjadi kebanggaan masyarakat setempat, yaitu upacara adat yang di sebut dengan Tradisi Ngerebong. Upacara ini merupakan bagian dari warisan budaya yang berasal dari Desa Adat Kesiman. Desa ini terletak di wilayah Kelurahan Kesiman, Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar.
Adat istiadat tersebut tidak hanya menjadi simbol kekuatan spiritual masyarakat Bali. Acara adat ini juga menjadi representasi dari hubungan harmonis antara manusia dengan alam serta dengan para leluhur mereka. Tradisi ini menunjukkan bahwa Bali tidak hanya terkenal karena keindahan alamnya. Bali juga populer karena kentalnya nilai-nilai adat dan kepercayaan yang terus di praktikkan oleh warganya dari generasi ke generasi.
Pelaksanaan upacara Ngerebong di atur dalam siklus waktu yang tetap dan berulang. Upacara ini di laksanakan setiap 210 hari sekali menurut perhitungan kalender Bali. Tradisi sakral ini di adakan di Pura Agung Petilan. Pura ini merupakan tempat suci dan pusat spiritual bagi masyarakat Desa Adat Kesiman. Waktu pelaksanaannya jatuh pada hari Minggu atau Redite Pon dalam wuku Medangsia, yaitu delapan hari sesudah Hari Raya Kuningan. Hari Raya Kuningan merupakan salah satu hari besar keagamaan dalam ajaran Hindu Bali. Penetapan hari pelaksanaan tersebut menunjukkan betapa pentingnya perhitungan waktu dalam konteks ritual keagamaan masyarakat Bali.
Berdasarkan penelusuran yang tertuang dalam karya ilmiah yang ditulis oleh Ni Made Odi Tresna Oktavianti pada tahun 2021, yang berjudul Upacara Ngerebong di Pura Agung Petilan Desa Adat Kesiman, disebutkan bahwa Tradisi Ngerebong memiliki akar sejarah yang panjang.
Sejarah Ngerebong Bali
Sejarah Ngerebong Bali tidak dapat di lepaskan dari berdirinya Pura Agung Petilan yang terletak di Desa Adat Kesiman. Tradisi sakral ini memiliki keterkaitan erat dengan figur penting dalam sejarah lokal, yaitu I Gusti Ngurah Made Kesiman, yang juga di kenal dengan gelar kehormatan Ida Bhatara Punggawa Kesiman. Tokoh ini memainkan peran sentral dalam peresmian serta penyebarluasan praktik upacara Ngerebong kepada masyarakat luas. Momentum bersejarah tersebut berlangsung ketika pembangunan Pura Agung Petilan telah selesai di kerjakan pada tahun 1937. Pada masa itu, I Gusti Ngurah Made Kesiman yang menjabat sebagai Kepala Distrik Kesiman, secara resmi mengumumkan dan menetapkan pelaksanaan upacara Ngerebong. Upacara ini di tetapkan sebagai bagian integral dari rangkaian kegiatan keagamaan di pura tersebut. Tindakan ini sekaligus menandai di mulainya pengakuan formal terhadap upacara tersebut sebagai salah satu warisan budaya dan spiritual yang memiliki tempat istimewa dalam kehidupan masyarakat setempat.
Penyelenggaraan pertama dari upacara ini di susun menyerupai piodalan atau perayaan hari suci di Pura Agung Petilan. Konsep pelaksanaan upacara mengikuti sistem pemujaan para dewa yang di kenal dengan istilah “tata dewa”, yakni suatu metode penyusunan arca atau simbol-simbol dewa secara sistematis dan penuh kehormatan.
Dalam pelaksanaannya, kegiatan ritual tidak di langsungkan di area utama pura. Kegitan ritual ini di langsungkan di wantilan atau balai pertemuan pura. Namun, kondisi wantilan pada saat itu masih bersifat sederhana dan belum permanen. Bangunan tersebut belum selesai sepenuhnya karena hanya beratapkan klangsah, yakni anyaman dari daun kelapa yang di rangkai dengan cara tradisional. Selain itu, tiang-tiang penyangganya pun belum di bangun dari bahan keras. Tiang-tiang penyangganya masih menggunakan batang Pohon Waru sebagai penopang struktural. Penggunaan elemen-elemen alam seperti daun kelapa dan batang pohon dalam konstruksi wantilan mencerminkan kesederhanaan sekaligus keterikatan masyarakat saat itu dengan alam sekitar.
Makna Upacara Adat
Makna Upacara Adat Ngerebong sangat dalam dan mengandung simbolisme spiritual yang kompleks dalam tradisi keagamaan masyarakat Bali. Upacara ini tidak sekadar di maknai sebagai ritual keagamaan biasa. Acara kebudayaan ini juga merupakan prosesi yang mencerminkan keseimbangan kosmis serta penyatuan unsur-unsur yang ada di alam semesta. Secara etimologis, istilah “Ngerebong” di yakini berasal dari gabungan dua kata, yaitu “ngereh” dan “bong”. Kata “ngereh” merujuk pada sebuah upacara atau prosesi sakral yang di lakukan dengan tujuan untuk memohon agar roh-roh suci senantiasa bersemayam dalam wujud sakral Barong dan Rangda. Keduanya merupakan merupakan simbol utama kekuatan spiritual dalam kepercayaan Hindu Bali. Sementara itu, kata “bong” di maknai sebagai lambang unsur tanah atau “pratiwi”. Istilah ini menggambarkan unsur dasar kehidupan dan simbol penyatuan antara kekuatan langit (akasa) dan kekuatan bumi (pratiwi).
Lebih jauh, masyarakat juga meyakini bahwa prosesi Ngerebong merupakan bentuk penyatuan antara elemen spiritual dan material. Yakni antara alam gaib dan dunia nyata, yang dalam kebudayaan di sebut dengan penyatuan akasa dan pratiwi. Prosesi ini di yakini sebagai suatu bentuk tindakan magis yang mencerminkan keharmonisan semesta. Selain itu, terdapat pula pandangan yang menyebut bahwa istilah “Ngerebong” merupakan bentuk singkat dari kata “ngarebuang”. Ngarebuang memiliki makna sebagai ritual untuk menetralkan dan menyucikan alam dari energi negatif atau kekotoran spiritual. Dalam konsep Hindu Bali, penyucian tersebut di kenal sebagai “penyudhamalaan”. Penyudhamalaan merupakan tindakan spiritual untuk mengembalikan keharmonisan dan kesucian alam semesta.
Pelaksanaan penyudhamalaan dalam tradisi Ngerebong di wujudkan secara simbolis melalui kehadiran dua sosok penting. Kedua sosok penting ini yakni Barong berbulu putih dan Barong berbulu hitam. Sosok penting ini seringkali di identifikasikan sebagai Barong Goak atau Barong Gagak. Kedua wujud tersebut masing-masing melambangkan kekuatan baik dan kekuatan gelap yang di pertemukan dalam satu prosesi untuk mencapai keseimbangan spiritual.
Pura Agung Petilan
Untuk memahami makna dan kedalaman Tradisi Ngerebong secara menyeluruh, sangat penting untuk menelusuri asal-usul tempat berlangsungnya ritual tersebut, yakni Pura Agung Petilan. Tempat suci ini merupakan pusat kegiatan spiritual utama bagi seluruh masyarakat Desa Adat Kesiman. Pura ini sering pula di kenal dengan nama Pura Pengerebongan. Statusnya sebagai pura kahyangan menjadikannya tempat pemujaan yang tidak hanya di khususkan bagi kelompok tertentu. Bangunan pura ini juga di hormati serta di jaga oleh seluruh lapisan warga adat setempat. Kehadiran pura ini menjadi poros penting dalam pelaksanaan berbagai kegiatan keagamaan. Termasuk Ngerebong yang di laksanakan secara rutin dan penuh kekhidmatan.
Asal-usul nama “Petilan” sendiri di yakini berakar dari kata “tila”, yang secara harfiah berarti menanam benih. Berdasarkan makna tersebut, Pura Agung Petilan kemudian di maknai sebagai tempat suci yang megah dan mulia. Bangunan pura ini berfungsi sebagai media bagi seorang pemimpin atau raja untuk “menanam” gagasan, nilai-nilai luhur, serta konsep-konsep kehidupan yang visioner. Dalam konteks ini, pura tersebut tidak hanya menjadi lokasi pemujaan spiritual. Pura ini juga di anggap sebagai wadah bagi kelahiran pemikiran-pemikiran besar yang dapat di jadikan pedoman bagi masyarakat. Lebih dari itu, pendirian Pura Agung Petilan di rancang pula sebagai upaya pelestarian sistem pemerintahan kerajaan. Maksudnya, apabila suatu waktu sistem monarki tersebut tidak lagi di berlakukan, maka nilai-nilai dan filosofi yang melekat di dalamnya tetap dapat di teruskan melalui struktur spiritual dan adat.
Sejarah Ngerebong Bali memang sangat menarik untuk kita ketahui. Tentunya wawasan budaya Bali akan semakin kita pahami dengan mengetahui Sejarah Ngerebong Bali.