Industri Tembakau Melalui Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Menunjukkan Ketidakpuasan Serta Terhadap Kebijakan Baru. Yang mana, kebijakan tersebut akan menghilangkan identitas merek pada kemasan rokok. Federasi ini juga secara tegas menyampaikan keberatan mereka terhadap aturan yang mewajibkan kemasan rokok di buat seragam tanpa identitas merek. Yang mana, saat ini di bahas dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024. Meskipun Kementerian Kesehatan sudah mengubah beberapa aspek dari rancangan ini. Namun, pihak federasi merasa perubahan tersebut belum sepenuhnya mengakomodasi aspirasi dari para pekerja. Selanjutnya, kebijakan yang mewajibkan kemasan seragam tanpa identitas merek ini tetap di pertahankan. Bahkan, kebijakan ini di perketat dengan rincian bahwa desain kemasan rokok hanya boleh menampilkan elemen sederhana. Dengan tampilan elemen sederhana tanpa karakteristik khusus merek tertentu, seperti jenis huruf dan warna khas yang menonjol. Hal ini akan menjadikan kemasan rokok menjadi seragam.
Menurut Sudarto AS selaku Ketua Umum FSP RTMM–SPSI, langkah ini tidak hanya melanggar Hak atas Kekayaan Intelektual dari perusahaan yang beroperasi dalam Industri Tembakau. Namun, hal ini juga bertentangan dengan prinsip perlindungan hukum yang di berikan kepada merek yang telah di sertifikasi. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa merek dagang adalah bagian penting dari perlindungan legal bagi pelaku usaha dalam industri tembakau untuk menjaga keunikan produk mereka. Sehingga, tanpa adanya identitas merek, industri tembakau akan kehilangan salah satu alat paling penting untuk mempertahankan daya saing di pasaran. Selain itu, Sudarto mengkritik kurangnya kesiapan Kemenkes dalam mengakomodasi masukan dari pekerja. Terutama para pekerja di sektor industri tembakau yang terancam langsung oleh kebijakan ini. Kemudian, ia mengungkapkan kekecewaannya terhadap sikap Kemenkes yang di anggap hanya memperhatikan aspek kesehatan publik tanpa melihat dampak ekonomi bagi sektor industri tembakau. Pernyataan ini ia sampaikan dalam sebuah konferensi pers yang di adakan di Jakarta pada 30 Oktober.
Kekhawatiran Atas Implikasi Kebijakan Terhadap Pekerja Dalam Industri Tembakau
FSP RTMM–SPSI telah melakukan berbagai aksi unjuk rasa untuk menyuarakan kekhawatiran mereka. Terutama, Kekhawatiran Atas Implikasi Kebijakan Terhadap Pekerja Dalam Industri Tembakau. Meski pada akhirnya aksi tersebut di respon Kemenkes dengan mengundang federasi untuk berdiskusi. Namun, Sudarto mengungkapkan bahwa Kemenkes masih belum menunjukkan respons yang memadai terhadap kekhawatiran federasi. Yang mana, Kemenkes tetap mempertahankan pasal-pasal yang mengatur penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek. Yang mana, meskipun telah ada berbagai penolakan dari pekerja industri tembakau. Namun, dalam rancangan terbaru, memang di perbolehkan untuk mencantumkan nama dan logo merek pada kemasan. Namun, elemen ciri khas utama dari merek seperti warna, huruf, atau elemen lain yang dapat menunjukkan identitas produk tertentu tetap tidak di perbolehkan.
Sehingga, hal ini membuat tidak adanya pembeda antara produk dalam industri tembakau. Ketentuan ini di nilai dapat mengancam keberlanjutan sektor tembakau secara keseluruhan. Yang mana, mulai dari petani yang terlibat dalam produksi tembakau dan cengkih hingga para pekerja serta pengecer yang mendistribusikan produk tersebut. Sudarto menekankan lebih lanjut bahwa kebijakan ini di rumuskan dengan tergesa-gesa. Hal ini mengingat dalam konteks pemerintahan baru yang di pimpin oleh Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Menurutnya, kebijakan ini tidak hanya mempengaruhi industri tembakau saja. Namun juga, berbagai sektor lain yang terkait yang pada akhirnya berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi Indonesia. Lebih lanjut, kebijakan ini di nilai bertentangan dengan visi pemerintahan baru yang menargetkan pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen.
Dalam pandangan federasi, kebijakan tersebut justru akan mempersulit ekonomi sektor industri tembakau. Serta, berpotensi menciptakan pemutusan hubungan kerja dalam jumlah besar. Lebih lanjut, Sudarto menyampaikan bahwa kebijakan ini juga di anggap menyimpang dari mandat UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023. Yang mana, UU tersebut mengatur tentang Kesehatan yang secara eksplisit hanya mengatur mengenai penerapan peringatan kesehatan bergambar. Yang mana, graphic health warning dengan komposisi sebesar 50 persen harus tercantum pada kemasan rokok.
Mengadopsi Pendekatan Plain Packaging
Sudarto menyoroti bahwa baik UU 17/2023 maupun PP 28/2024 tidak mencantumkan adanya mandat yang mensyaratkan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek. Sehingga, ketentuan seragam ini justru di anggap Mengadopsi Pendekatan Plain Packaging yang tercantum dalam Framework Convention on Tobacco Control. Yang mana, pendekatan ini merupakan sebuah kesepakatan internasional anti-tembakau. Kemudian, Indonesia sendiri, menurut Sudarto memilih untuk tidak meratifikasi FCTC. Hal ini mengingat betapa kompleksnya Industri Tembakau di dalam negeri yang menyerap banyak tenaga kerja di berbagai tingkatan. Sudarto juga menegaskan bahwa proses perumusan kebijakan yang berdampak luas ini seharusnya di lakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan dari Industri Tembakau secara komprehensif. Yang mana, hal ini agar dapat meminimalisir dampak negatif terhadap kelangsungan industri. Ia menilai Kemenkes telah melampaui wewenangnya. Yang mana, Kemenkes seharusnya hanya terbatas pada pengaturan GHW 50 persen dan informasi kesehatan pada kemasan.
Sehingga, setengah bagian lainnya pada kemasan merupakan hak pelaku usaha dalam Industri Tembakau. Serta, pelanggaran ini mencerminkan kurangnya prinsip partisipasi yang bermakna dalam penyusunan regulasi. Kemudian, partisipasi yang bermakna ini penting agar regulasi yang di hasilkan dapat di terima secara luas dan menghindari polemik yang berkepanjangan di masyarakat. FSP RTMM–SPSI juga menyatakan tekadnya untuk terus mengawal kebijakan ini. Serta, mereka juga memastikan agar kebijakan ini tidak di terapkan dalam pemerintahan baru Presiden Prabowo. Mereka berharap pemerintah dapat lebih memprioritaskan kepentingan nasional dan kesejahteraan pekerja Industri Tembakau. Terutama, dalam menyusun peraturan yang berdampak pada kehidupan mereka. Yang mana, dalam hal ini federasi berharap pemerintah dapat mempertimbangkan pentingnya keberlanjutan Industri Tembakau yang menjadi sumber penghidupan bagi banyak orang di negeri ini.
Di sisi lain, federasi mengingatkan bahwa pada 10 Oktober 2024 lalu mereka bersama ribuan pekerja dari Industri Tembakau lainnya telah melakukan aksi protes. Yang mana, aksi tersebut di laksanakan di kantor Kemenkes. Selanjutnya, aksi ini menjadi wujud nyata dari ketidaksetujuan mereka terhadap rancangan kebijakan ini.
Kebijakan Ini Di Anggap Akan Menimbulkan Dampak Negatif
Federasi ini menuntut agar pemerintah segera melakukan revisi terhadap PP 28/2024 dan membatalkan rancangan Permenkes. Yang mana, menurut mereka Kebijakan Ini Di Anggap Akan Menimbulkan Dampak Negatif yang signifikan pada Industri Tembakau. Serta, mengancam terjadinya pemutusan hubungan kerja secara massal di sektor tersebut. Berbagai aspek yang disampaikan oleh federasi pekerja menunjukkan bahwa posisi Industri Tembakau semakin rentan akibat kebijakan ini. Hal ini menyebabkan pekerja di sektor tersebut, yang mana telah lama bergantung pada penghasilan dari industri ini merasa khawatir atas ketidakpastian yang timbul akibat aturan kemasan seragam tanpa identitas merek.
Sudarto beserta federasi memperingatkan bahwa apabila kebijakan ini di berlakukan. Maka, dampak negatifnya tidak hanya akan di rasakan oleh industri tembakau saja. Namun, juga akan menjalar ke seluruh ekosistem ekonomi yang berkaitan mulai dari sektor pertanian hingga distribusi produk. Maka dari itu, kebijakan ini di yakini akan membawa dampak luas bagi keberlangsungan Industri Tembakau.