
Harga Gabah di tengah panen raya yang menjadi momen menggembirakan, para petani di daerah justru menghadapi situasi yang menyesakkan. Mereka mengeluhkan harga jual gabah yang tidak sebanding dengan biaya produksi yang terus meningkat. Meskipun pemerintah telah menetapkan HPP gabah kering panen sebesar Rp6.500 per kilogram, realisasinya masih rendah. Di lapangan, petani sering menerima harga di bawah HPP yang telah ditetapkan pemerintah.
Petani di Kabupaten Cirebon, misalnya, hanya bisa menjual gabah seharga Rp5.800 hingga Rp6.200 per kilogram. Harga tersebut jelas tidak menutupi biaya produksi yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Kenaikan harga pupuk, benih, dan tenaga kerja membuat biaya operasional makin tinggi. Petani mengaku mengeluarkan modal Rp15 juta hingga Rp18 juta per hektare pada musim tanam ini. Namun, hasil panen belum tentu mampu menutup seluruh pengeluaran tersebut. Situasi ini membuat banyak petani khawatir akan keberlanjutan usaha taninya.
Kondisi serupa terjadi di Bojonegoro, Jawa Timur, dan beberapa daerah sentra produksi lainnya. Petani berharap harga pasar segera membaik agar mereka tidak terus merugi. Mereka juga menunggu langkah konkret dari pemerintah untuk menstabilkan harga gabah. Anjloknya harga menyebabkan keuntungan petani tergerus secara signifikan. Tidak sedikit petani yang akhirnya mengalami kerugian besar akibat rendahnya harga jual gabah.
Ketua Umum KTNA, Yadi Sofyan Noor, mengusulkan agar HPP gabah dinaikkan menjadi Rp7.000 per kilogram. Menurutnya, harga itu lebih realistis untuk menjamin kesejahteraan petani saat ini. Kebutuhan operasional terus naik, dan petani butuh jaminan harga yang seimbang. Namun, pemerintah masih menetapkan HPP sebesar Rp6.500 per kilogram. Angka tersebut dinilai belum cukup untuk menjaga keberlangsungan usaha tani di berbagai daerah.
Harga Gabah yang fluktuatif dan kerap di bawah standar inilah yang memicu kekhawatiran akan menurunnya minat generasi muda untuk terjun ke sektor pertanian. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka akan semakin sulit menciptakan regenerasi petani di masa depan.
Harga Gabah: Kebijakan Diantara Harapan Dan Kenyataan
Kebijakan Pemerintah: Kebijakan Diantara Harapan Dan Kenyataan pemerintah melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas) telah berupaya menstabilkan harga gabah dengan menetapkan HPP baru dan mendorong Bulog untuk menyerap gabah petani secara maksimal. Namun, pelaksanaan di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan.
Dalam Keputusan Kepala Bapanas Nomor 14 Tahun 2025, ditetapkan bahwa harga pembelian gabah oleh Bulog minimal Rp6.500 per kg untuk GKP. Presiden Prabowo Subianto bahkan menegaskan bahwa pemerintah siap mengambil tindakan tegas terhadap pihak-pihak yang membeli gabah di bawah HPP. Meski demikian, fakta di lapangan menunjukkan bahwa regulasi ini belum sepenuhnya efektif.
Akibatnya, banyak petani yang tidak memiliki akses langsung ke Bulog sehingga terpaksa menjual gabah kepada tengkulak dengan harga lebih rendah. Selain itu, kemampuan Bulog untuk menyerap hasil panen juga terbatas. Sebagai contoh, di Bojonegoro, badan ini hanya mampu menyerap sekitar 450 ton gabah per hari, sementara jumlah panen yang tersedia jauh lebih besar.
Tak hanya itu, di sejumlah daerah lainnya, proses administrasi dan logistik penyerapan gabah bahkan dinilai lambat, sehingga memperburuk situasi di lapangan. Hal ini membuat petani enggan menunggu dan memilih menjual gabah ke pasar atau tengkulak meskipun dengan harga lebih murah. Dengan demikian, sistem yang belum sepenuhnya efisien ini menyebabkan tujuan mulia dari kebijakan stabilisasi harga belum dapat sepenuhnya dirasakan oleh petani.
Lebih lanjut, kritik juga datang dari organisasi petani dan pemerhati pertanian yang menilai bahwa penetapan HPP seharusnya mempertimbangkan masukan dari petani secara langsung. Mereka berharap pemerintah dapat membuka ruang dialog yang lebih luas agar kebijakan yang dibuat benar-benar menjawab kebutuhan di lapangan.
Solusi Lokal: Kolaborasi Untuk Kesejahteraan Petani
Solusi Lokal: Kolaborasi Untuk Kesejahteraan Petani di tengah tantangan yang dihadapi, sejumlah daerah mulai menunjukkan inisiatif lokal untuk membantu petani. Salah satu contoh datang dari Kabupaten Jember, Jawa Timur, di mana Perum Bulog bekerja sama dengan PT Pupuk Indonesia untuk menyerap gabah petani dengan harga Rp6.500 per kg. Selain itu, petani juga diberikan akses langsung untuk membeli pupuk bersubsidi dengan harga sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET).
Inisiatif ini disambut baik oleh petani karena memberikan kepastian harga dan mengurangi ketergantungan terhadap tengkulak. Dengan pendekatan integratif antara hulu dan hilir, petani merasa lebih terlindungi dan semangat mereka untuk bertani pun meningkat.
Langkah serupa juga dilakukan di Lampung, di mana pemerintah daerah menggelar panen raya serentak dan memastikan harga gabah tetap sesuai HPP. Pemerintah setempat bahkan melibatkan koperasi tani dan BUMDes dalam proses distribusi hasil pertanian agar keuntungan lebih banyak dirasakan oleh petani.
Upaya lain yang mulai dikembangkan adalah digitalisasi rantai pasok. Melalui aplikasi yang menghubungkan petani langsung dengan pembeli, harga bisa lebih transparan dan petani tidak lagi terjebak dalam rantai distribusi yang panjang. Beberapa startup agritech bahkan sudah mulai melakukan pilot project di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan dengan hasil yang cukup menjanjikan.
Kolaborasi antara pemerintah daerah, perusahaan BUMN, koperasi petani, dan teknologi digital ini menjadi contoh bagaimana solusi lokal bisa memperbaiki ekosistem pertanian. Jika didukung dengan kebijakan nasional yang pro-petani, maka langkah-langkah ini bisa diperluas ke daerah-daerah lain.
Masa Depan Pertanian: Menjaga Keseimbangan Dan Keberlanjutan
Masa Depan Pertanian: Menjaga Keseimbangan Dan Keberlanjutan keberlanjutan sektor pertanian tidak hanya bergantung pada harga jual hasil panen, tetapi juga pada keseimbangan sistem secara menyeluruh. Dibutuhkan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan untuk menjaga kesejahteraan petani.
Pertama, pemerintah harus memberikan perlindungan harga yang lebih adaptif terhadap dinamika pasar dan inflasi. Peninjauan berkala terhadap HPP dan keterlibatan aktif petani dalam proses penetapan harga menjadi kunci utama.
Kedua, pendidikan dan pelatihan pertanian harus lebih ditingkatkan agar petani mampu menerapkan teknologi pertanian modern. Dengan efisiensi yang lebih tinggi, petani bisa menekan biaya produksi dan meningkatkan produktivitas.
Ketiga, diversifikasi pendapatan petani juga perlu dikembangkan. Petani tidak hanya mengandalkan padi sebagai sumber utama, tetapi juga bisa mengembangkan usaha lain seperti hortikultura, peternakan, atau produk olahan berbasis hasil tani. Langkah ini dapat meningkatkan ketahanan ekonomi rumah tangga petani, terutama saat harga gabah turun atau terjadi gagal panen. Selain itu, diversifikasi membuka peluang pasar baru dan menciptakan nilai tambah dari hasil pertanian. Pemerintah dan lembaga pendukung perlu memberikan pelatihan, akses modal, serta pendampingan agar upaya diversifikasi ini bisa berjalan secara berkelanjutan.
Terakhir, pentingnya regenerasi petani tidak bisa diabaikan. Pemerintah dan masyarakat perlu menciptakan iklim yang mendorong generasi muda untuk melihat pertanian sebagai sektor yang menjanjikan. Program-program insentif untuk petani milenial dan inkubator agribisnis bisa menjadi solusi.
Agar pertanian tetap menjadi tulang punggung ketahanan pangan nasional, diperlukan kebijakan yang menjamin keadilan dan stabilitas Harga Gabah. Kesejahteraan petani harus dijaga karena mereka berperan penting dalam memenuhi kebutuhan pangan rakyat. Kebijakan pertanian perlu berpihak pada petani yang bekerja di sawah-sawah Nusantara, melalui penetapan yang tepat atas Harga Gabah.