
Krisis Pangan Global Telah Menyebabkan Lebih Dari 295 Juta Orang Mengalami Kelaparan Akut Di Berbagai Negara, Menurut Data Badan Pangan Dunia. Penyebab utama: konflik bersenjata, perubahan iklim, inflasi, dan kebijakan proteksionis yang mengganggu rantai pasok, seperti ekspor gandum dan pupuk dari Rusia-Ukraina, serta pembatasan ekspor beras oleh India dan Rusia.
Dampak di Asia dan Indonesia. Negara-negara tetangga seperti Filipina, Malaysia, dan Jepang menghadapi tekanan harga beras yang tinggi. Jepang bahkan harus membuka cadangan daruratnya untuk mengendalikan harga naik hingga 82% dalam setahun sebagai akibat gelombang panas. Indonesia, meskipun masih tergolong “aman,” mulai merasakan efek inflasi pangan sebagaimana harga sembako mengalami fluktuasi tajam di pasar tradisional menjelang Juli 2025.
Pemerintah Indonesia melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan Kementerian Pertanian telah melakukan berbagai langkah mitigasi. Salah satu strategi utama adalah penyaluran Cadangan Pangan Pemerintah (CPP) ke daerah-daerah rawan pangan, termasuk distribusi langsung ke masyarakat berpenghasilan rendah. Di Sumba Timur, misalnya, program penyaluran beras CPP disambut positif karena mampu menstabilkan harga dan menjamin ketersediaan pangan di pelosok.
Namun demikian, kondisi ini masih jauh dari ideal. Di pasar-pasar tradisional, harga bahan pokok seperti beras, minyak goreng, dan cabai menunjukkan fluktuasi tajam. Pedagang mengeluhkan keterbatasan pasokan, sementara konsumen mengaku mulai mengurangi pembelian karena daya beli menurun. Beberapa komoditas naik lebih dari 20% dibanding bulan sebelumnya, terutama beras premium dan bawang merah. Ini memicu kekhawatiran bahwa Indonesia bisa terdampak lebih besar jika Krisis Pangan Global terus berlanjut.
Sementara itu, Kementerian Perdagangan tengah menjajaki kerja sama impor alternatif dari negara-negara nontradisional seperti Pakistan dan Vietnam, guna mengurangi ketergantungan pada India dan Rusia yang memberlakukan pembatasan ekspor. Namun, upaya ini pun tak lepas dari tantangan geopolitik dan kenaikan ongkos logistik global yang ikut melambung akibat konflik internasional.
Respon Pemerintah Dan Upaya Kebijakan
Respon Pemerintah Dan Upaya Kebijakan. Upaya Mitigasi Krisis Pangan: Langkah Terstruktur Pemerintah Indonesia
1. Produksi Beras Surplus Didorong Lewat Teknologi dan Kolaborasi
Kementerian Pertanian menekankan bahwa surplus produksi beras yang tercapai hingga April 2025 tidak terjadi begitu saja. Pemerintah mendorong percepatan tanam pasca panen dengan distribusi benih unggul, bantuan pupuk bersubsidi, serta mekanisasi pertanian di berbagai wilayah. Kabupaten Klaten, misalnya, menjadi salah satu contoh sukses karena berhasil memaksimalkan masa tanam dengan sistem irigasi terintegrasi dan pelatihan petani digital berbasis aplikasi cuaca pertanian. Langkah ini bukan hanya menjaga surplus, tetapi juga memperkuat ketahanan pangan berbasis lokal.
2. Penebalan Cadangan dan Operasi Pasar Terstruktur
Langkah Presiden Prabowo dalam menginstruksikan Bulog menyerap hingga 3 juta ton beras menunjukkan keberpihakan pada dua kepentingan utama: stabilitas harga dan kesejahteraan petani. Operasi pasar yang kini menyasar hingga tingkat desa, dikoordinasikan melalui Koperasi Desa Merah Putih dan PT Pos Indonesia, menyasar warga penerima bantuan sosial serta masyarakat berpenghasilan rendah. Dengan harga beras yang terjaga, daya beli masyarakat pun relatif stabil, meskipun tekanan global cukup berat.
3. Respons Politik dan Aksi Kemanusiaan
PKS dan beberapa partai politik lain mulai mendorong pendekatan yang lebih partisipatif dalam menghadapi krisis pangan. Mereka mengusulkan pembentukan bank pangan nasional, semacam “food bank” yang menyerap hasil panen berlebih dari petani dan menyalurkannya ke daerah-daerah rawan pangan. Selain itu, insentif pangan bersubsidi diperluas tidak hanya dalam bentuk beras, tetapi juga minyak goreng, telur, dan kedelai.
4. Antisipasi Ancaman Eksternal dan Perdagangan Global
Indonesia diingatkan oleh para pakar untuk memperkuat diversifikasi pangan, agar tidak tergantung pada bahan impor seperti gandum dan kedelai. Mengingat ancaman El Nino masih berpotensi menurunkan produksi jagung dan sayuran di kawasan timur Indonesia, maka strategi jangka panjang berupa pengembangan pangan lokal seperti sorgum, singkong, dan umbi-umbian kembali digalakkan.
Situasi Saat Ini: Harga Dan Distribusi
Situasi Saat Ini: Harga Dan Distribusi Stabil Tapi Belum Sepenuhnya Terkendali
Di tengah tekanan global yang belum mereda, harga beras di Indonesia terpantau relatif stabil. Berdasarkan laporan pasar per 16 Juli 2025, harga beras medium berkisar antara Rp13.000 hingga Rp14.000 per kilogram, lebih rendah dibandingkan puncaknya di awal 2024 yang sempat mencapai Rp16.000/kg. Penurunan ini disebut sebagai hasil dari langkah penyerapan gabah besar-besaran oleh Bulog serta distribusi beras cadangan pemerintah ke wilayah rentan.
Namun, situasi tidak seragam di seluruh jenis komoditas. Harga cabai rawit merah dan minyak goreng justru mengalami penurunan. Berdasarkan data yang dirilis oleh Bank Indonesia melalui laman DataIndonesia.id, harga cabai rawit turun hingga Rp5.000 per kilogram dalam dua minggu terakhir, sementara harga minyak goreng kemasan sederhana turun sekitar 3–5% dibandingkan awal bulan. Turunnya harga ini dipengaruhi oleh membaiknya distribusi dan panen yang meningkat di sejumlah wilayah sentra produksi seperti Brebes dan Garut.
Sebaliknya, beberapa komoditas lain menunjukkan tren naik, seperti bawang putih, telur ayam, dan daging sapi. Kenaikan ini dipicu oleh ongkos logistik yang meningkat akibat harga solar industri, serta fluktuasi nilai tukar rupiah yang mempengaruhi harga. Kenaikan ini turut berdampak pada inflasi pangan, meski sejauh ini Bank masih berhasil menjaga laju inflasi di bawah target 4%.
Pemerintah pun mulai menyusun rencana penguatan distribusi bahan pokok menjelang semester kedua 2025. Salah satunya adalah memperluas integrasi teknologi rantai pasok berbasis aplikasi, serta revitalisasi pasar tradisional agar rantai distribusi makin efisien.
Membangun Ketahanan Pangan Berkelanjutan
Membangun Ketahanan Pangan Berkelanjutan: Tantangan dan Jalan ke Depan
Meskipun upaya pemerintah dalam menjaga kestabilan stok beras dan harga pangan patut diapresiasi, ketahanan pangan nasional tidak cukup jika hanya bertumpu pada satu komoditas. Indonesia harus menghadapi kenyataan bahwa ketergantungan terhadap beras, kedelai impor, dan gandum membuat sistem pangan nasional sangat rentan terhadap fluktuasi harga global, cuaca ekstrem, serta ketegangan geopolitik yang bisa sewaktu-waktu mengganggu rantai pasok dunia.
Diversifikasi pangan menjadi salah satu jawaban yang sudah lama digaungkan, namun implementasinya belum optimal. Komoditas lokal seperti sorgum, dan jagung masih belum mendapat perhatian setara dalam sistem logistik nasional maupun dalam program bantuan sosial. Padahal, menurut studi IPB tahun 2023, konsumsi pangan mampu mengurangi tekanan impor hingga 15% dalam 3 tahun jika didorong melalui kampanye.
Di sisi lain, penguatan distribusi pangan antardaerah juga menjadi krusial. Indonesia sebagai negara kepulauan kerap menghadapi kendala logistik yang membuat harga pangan melonjak tinggi di daerah-daerah terpencil, terutama di Papua. Solusi seperti tol laut dan subsidi transportasi pangan harus dijalankan dengan transparan dan berkelanjutan.
Yang tak kalah penting adalah dukungan terhadap masyarakat rentan, baik dalam bentuk bantuan pangan langsung, subsidi harga, maupun program padat. Jika masyarakat bawah bisa bertahan dalam tekanan ekonomi, maka stabilitas sosial dan pangan pun bisa dijaga lebih baik.
Dengan pendekatan holistik inilah, Indonesia diharapkan mampu tidak hanya bertahan, tetapi juga mengambil peran strategis sebagai negara yang tangguh dan mandiri dalam menghadapi Krisis Pangan Global.