
Truk Listrik, sektor logistik di Indonesia mulai memasuki babak baru dengan dimulainya uji coba untuk distribusi barang di beberapa wilayah. Langkah ini menjadi bagian dari upaya pemerintah dan pelaku industri untuk menekan emisi karbon sekaligus meningkatkan efisiensi distribusi barang. Truk listrik dinilai sebagai solusi strategis dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan lonjakan harga bahan bakar fosil.
PT Pos Indonesia dan PT PLN (Persero) menjadi dua perusahaan BUMN yang turut ambil bagian dalam uji coba ini. Mereka menggandeng beberapa mitra produsen kendaraan ini, seperti Mitsubishi Fuso dan Hino, yang sudah memperkenalkan varian truk listrik ringan hingga menengah. Uji coba dilakukan di kawasan Jabodetabek dan Surabaya, dengan rute-rute distribusi yang padat aktivitas logistiknya.
Menurut data dari Kementerian Perhubungan, sektor transportasi menyumbang sekitar 23% dari total emisi gas rumah kaca nasional. Truk diesel konvensional merupakan salah satu penyumbang emisi terbesar karena dominan digunakan untuk angkutan barang. Penggantian secara bertahap dengan kendaraan listrik dapat menekan emisi sekaligus mengurangi polusi udara di kawasan perkotaan.
Truk listrik yang diuji coba memiliki daya tempuh antara 150 hingga 200 km dalam satu kali pengisian daya. Kecepatan pengisian baterainya pun cukup kompetitif, dengan teknologi fast charging memungkinkan pengisian 80% dalam waktu 1 jam. Ini menjadikannya cocok untuk pengiriman jarak menengah di dalam kota maupun antar wilayah industri. Hal ini membuat truk listrik cocok untuk pengiriman jarak menengah di kota dan antar wilayah industri.
Truk Listrik diuji coba sekaligus untuk menguji kesiapan infrastruktur pendukung seperti SPKLU, layanan purna jual, dan pelatihan pengemudi. Pemerintah menargetkan hasil evaluasi uji coba ini menjadi acuan penyusunan kebijakan insentif kendaraan niaga listrik pada 2026.
Truk Listrik: Perusahaan Logistik Dan Ritel Mulai Terlibat Aktif
Truk Listrik: Perusahaan Logistik Dan Ritel Mulai Terlibat Aktif beberapa perusahaan logistik dan ritel besar di Indonesia mulai menunjukkan ketertarikan mereka terhadap potensi truk listrik sebagai bagian dari strategi keberlanjutan perusahaan. PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE), PT Sicepat Ekspres Indonesia, dan PT Indomarco Prismatama (Indomaret) termasuk yang menyatakan kesiapan untuk mengadopsinya dalam sistem distribusi mereka.
JNE, misalnya, telah melakukan uji coba operasional dengan dua unit truk listrik ringan di area Jakarta Timur dan Jakarta Selatan. Hasil awal menunjukkan efisiensi operasional meningkat karena biaya bahan bakar berkurang hingga 40%. Selain itu, suara mesin yang lebih senyap membuat truk listrik lebih cocok untuk operasional malam hari di kawasan permukiman padat.
Menurut laporan dari International Energy Agency (IEA) 2024, total biaya operasional kendaraan listrik untuk logistik dalam kota bisa 20–50% lebih rendah dibandingkan truk diesel, jika memperhitungkan biaya bahan bakar dan perawatan jangka panjang. Ini menjadi pertimbangan penting bagi pelaku industri logistik yang harus menjaga margin keuntungan di tengah persaingan ketat.
Perusahaan ritel seperti Indomaret dan Alfamart menjajaki kerja sama pengadaan armada listrik secara bertahap dengan perusahaan otomotif. Mereka melihat langkah ini sebagai upaya memenuhi target ESG, tolok ukur penting tata kelola perusahaan modern saat ini. Data Kementerian Perdagangan 2024 mencatat penggunaan kendaraan listrik di sektor ritel meningkat 35% dibanding tahun sebelumnya.
Keterlibatan sektor swasta dalam penggunaan truk listrik juga diharapkan dapat menjadi stimulus bagi perkembangan industri kendaraan niaga listrik dalam negeri. Terutama jika diikuti dengan penguatan ekosistem, seperti peningkatan kapasitas pabrik baterai dan produksi lokal komponen kendaraan listrik.
Tantangan Infrastruktur Dan Regulasi
Tantangan Infrastruktur Dan Regulasi meski prospeknya menjanjikan, adopsi truk listrik di sektor logistik Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan, terutama terkait infrastruktur dan regulasi. Salah satu kendala utama adalah belum meratanya jaringan SPKLU, khususnya di luar kota besar. Kondisi ini membatasi daya jelajah dan menimbulkan kekhawatiran terhadap keamanan pasokan daya saat beroperasi.
Menurut data Kementerian ESDM per Mei 2025, jumlah SPKLU di Indonesia mencapai 1.780 unit, mayoritas terkonsentrasi di Jawa dan Bali. Jumlah ini dinilai belum cukup untuk mendukung operasional kendaraan listrik niaga dalam skala besar. Pemerintah tengah berupaya menambah 2.000 SPKLU lagi hingga akhir 2026 melalui skema kerja sama pemerintah dan swasta.
Tantangan lainnya adalah soal regulasi dan insentif. Saat ini, insentif fiskal untuk kendaraan listrik lebih difokuskan pada mobil penumpang, sementara truk listrik belum mendapat perlakuan serupa. Industri berharap ada keringanan pajak barang mewah (PPnBM), insentif impor komponen, serta subsidi pembelian yang bisa mempercepat adopsi kendaraan tipe ini. Data Kementerian Keuangan 2023 menunjukkan hanya 5% insentif fiskal dialokasikan untuk kendaraan niaga listrik, termasuk truk listrik.
Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) menyebutkan bahwa harga truk listrik masih tergolong tinggi, yakni 1,5 hingga 2 kali lipat lebih mahal dari truk diesel konvensional. Tanpa insentif, pelaku logistik kecil dan menengah akan sulit menjangkau teknologi ini. Oleh karena itu, diperlukan peran aktif pemerintah dalam merumuskan kebijakan transisi energi di sektor logistik.
Namun demikian, pemerintah telah menyusun peta jalan kendaraan listrik untuk sektor niaga melalui Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019, dan saat ini sedang direvisi untuk memasukkan kategori kendaraan niaga berat. Harapannya, pada 2030, sekitar 20% kendaraan niaga di Indonesia sudah menggunakan teknologi listrik atau berbasis energi terbarukan.
Harapan Terhadap Pengembangan Industri Lokal
Harapan Terhadap Pengembangan Industri Lokal uji coba truk listrik bukan hanya soal efisiensi logistik, tetapi juga menjadi momentum bagi pengembangan industri kendaraan listrik dalam negeri. Pemerintah menargetkan Indonesia menjadi pusat manufaktur kendaraan listrik dan baterai di Asia Tenggara, dengan melibatkan BUMN dan sektor swasta.
Pabrik baterai milik PT HKML Battery Indonesia di Karawang, yang merupakan hasil kerja sama Hyundai dan LG Energy Solution, mulai beroperasi pada 2024 dengan kapasitas produksi tahunan mencapai 10 GWh. Produksi baterai lokal diharapkan dapat menurunkan harga kendaraan listrik secara signifikan, termasuk untuk segmen truk.
Selain itu, beberapa pabrikan dalam negeri mulai memproduksi komponen kendaraan listrik, seperti motor listrik, inverter, dan sistem manajemen baterai (BMS). PT INKA di Madiun dan PT Mobil Anak Bangsa (MAB) juga sedang mengembangkan prototipe truk listrik buatan lokal untuk kebutuhan distribusi dalam kota.
Keberhasilan adopsi kendaraan ini juga membuka peluang kerja baru di sektor teknologi otomotif dan energi terbarukan. Diperlukan tenaga kerja yang terampil di bidang teknik elektro, mekatronika, hingga manajemen data kendaraan berbasis IoT. Pemerintah menggandeng beberapa politeknik dan universitas untuk membuka program studi terkait kendaraan listrik.
Dengan dukungan ekosistem kuat, truk listrik bisa jadi tulang punggung sistem logistik nasional yang bersih dan efisien. Jika sukses, Indonesia bukan hanya pasar kendaraan listrik, tapi juga pemain utama rantai pasok kendaraan niaga listrik Asia Tenggara.
Uji coba distribusi barang menandai awal perubahan besar dalam sektor logistik Indonesia. Dengan inovasi teknologi, dukungan kebijakan, serta partisipasi pelaku industri dan masyarakat, Indonesia berpeluang besar menjadi pionir transportasi logistik ramah lingkungan di kawasan regional melalui penggunaan Truk Listrik.